PERIKSA DATA: Kenapa harga beras di Sulawesi Utara meroket, padahal produksi naik?

5 Min Read
Ilustrasi pembeli dan penjual beras di pasar. (Digenerate dengan AI)

ZONAUTARA.com – Peningkatan produksi beras tahunan di Sulawesi Utara pada 2024 tidak menjamin stabilitas harga pada tahun 2025. Kenaikan harga beras didorong oleh tiga masalah utama: penurunan stok musiman di awal tahun 2025, terhambatnya rantai distribusi logistik, dan adanya pergeseran petani ke tanaman lain.

Mengapa fakta dan harga terasa berlawanan?

Warga Sulawesi Utara (Sulut) harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras. Di Pasar Manado, harga beras premium telah mencapai Rp17.000 hingga Rp17.500 per kilogram. Kenaikan harga ini begitu terasa, bahkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut mencatat beras sebagai penyumbang utama inflasi yang membuat biaya hidup masyarakat Sulut meningkat.

Uniknya, kondisi ini terjadi di tengah klaim data produksi yang terlihat positif.

Jika dilihat dari data keseluruhan, Sulawesi Utara tampak solid. Berdasarkan data resmi BPS Sulut, produksi beras provinsi ini pada tahun 2024 naik 14,67% menjadi 153,48 ribu ton dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara statistik, ini seharusnya menjamin ketersediaan. Lantas, mengapa harga di pasar justru meroket?

Tiga biang kerok kenaikan harga beras

Periksa Data Zonautara.com menemukan bahwa kenaikan harga beras di Sulut tidak bisa dilihat hanya dari angka produksi tahunan. Tiga faktor data di bawah ini adalah penjelasannya:

Biang kerok 1: Defisit stok karena faktor musiman

Masalah utama ada pada waktu panen. Stok beras yang dikonsumsi masyarakat saat ini bukanlah stok dari keseluruhan panen 2024, melainkan stok yang dipengaruhi oleh panen musiman terbaru (sub-periode).

  • Data kritis: BPS Sulut memproyeksikan potensi produksi beras pada sub-periode Januari hingga April 2025 mengalami penurunan signifikan, sekitar 8,79% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan di awal tahun ini menciptakan “lubang” stok (defisit) di pasar. Ketika stok menipis, mekanisme pasar membuat harga langsung melambung, terutama saat permintaan tetap tinggi.

Biang kerok 2: Rantai distribusi yang ‘sakit’

Sulawesi Utara masih sangat bergantung pada pasokan dari luar daerah, seperti Sulawesi Tengah, dan dari sentra lokal seperti Bolaang Mongondow (Bolmong). Data di lapangan menunjukkan adanya kendala logistik yang fatal.

  • Jalur Logistik: Pedagang dan pemasok melaporkan bahwa kerusakan infrastruktur jalan di jalur utama distribusi, ditambah dengan cuaca ekstrem, menyebabkan pengiriman beras tertunda dan biaya operasional (transportasi) menjadi jauh lebih mahal.
  • Dampak: Kenaikan biaya transportasi ini otomatis diteruskan ke harga jual di tingkat konsumen. Inilah yang membuat harga beras di Manado bisa lebih tinggi daripada di sentra produksi.

Biang kerok 3: Petani beralih tanam (ancaman jangka panjang)

Data dari Dinas Pertanian daerah mengindikasikan adanya pergeseran prioritas di sektor hulu.

  • Pola Berubah: Sejumlah petani di daerah sentra utama kini beralih menanam komoditas lain (contoh: Nilam) yang dianggap lebih menjanjikan secara ekonomi.
  • Konsekuensi: Jika tren ini berlanjut, meskipun total lahan tanam padi di Sulut besar, luasan panen yang dikhususkan untuk beras konsumsi masyarakat Sulut akan terus berkurang. Ini adalah ancaman defisit stok jangka panjang yang membuat Sulut semakin bergantung pada impor dari provinsi lain.

Peran intervensi pemerintah: Sudah cukup?

Pemerintah Provinsi dan Perum Bulog Divre Sulutgo telah melakukan intervensi, terutama melalui penyaluran beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dan Operasi Pasar (OP).

Meskipun intervensi ini bertujuan menekan harga, data harga di pasar yang masih tinggi menunjukkan bahwa:

  1. Volume penyaluran belum optimal: Jumlah beras yang dilepas belum cukup besar untuk membanjiri pasar dan secara drastis menurunkan harga.
  2. Distribusi belum merata: Beras SPHP yang harganya lebih terjangkau tidak selalu tersedia merata dan cepat habis, khususnya di pasar-pasar kecil di luar Kota Manado.

Kesimpulan

Harga beras yang meroket di Sulawesi Utara adalah hasil interaksi kompleks, bukan hanya satu faktor. Meskipun secara data tahunan produksi naik, data musiman dan logistik membuktikan bahwa pasokan riil saat ini sedang tertekan.

Krisis ini menuntut intervensi yang lebih terfokus, yakni: memperkuat distribusi SPHP secara masif, dan mempercepat perbaikan jalur logistik dari sentra produksi lokal ke pasar konsumen. Tanpa langkah ini, fluktuasi harga beras akan terus menjadi pendorong utama inflasi di meja makan warga Sulut.

Share This Article
Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *